Desa
Guntur, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, merupakan saksi bisu kehidupanku
semenjak aku dilahirkan tanggal 30 April 1994. Disanalah aku lahir dan
disanalah aku dibesarkan. Disanalah aku melihat perubahan-perubahan yang
terjadi di kampungku. Perubahan itu terjadi baik karena faktor alam maupun
faktor manusia. Menurut penuturan ibuku, dahulu kala aku dilahirkan di
kampongku belum tersedia listrik, kami warga disana harus susah payah untuk
menikmati listrik dengan membuat jalur sendiri perkeluarga ke desa lain yang
jaraknya cukup jauh. Televisi merupakan sesuatu yang masih mewah pada saat itu.
Kemudian muncullah program “listrik masuk desa”, dan akhirnya kami dapat
menikmati listrik dengan lebih mudah. Namun televise juga masih merupakan
sesuatu yang mewah, belum banyak orang yang mempunyai televisi. Hanya beberapa
saja yang mempunyainya, sehingga untuk menkmati tayangan televisi kami harus
pergi kerumah tetangga dan menonton secara beramai-ramai. Saat aku masih kecil,
banyak permainan yang sering saya mainkan bersama teman-teman seperti gateng,
petak umpet, sudah manda, lumbung/dakon dan masih banyak yang lain. Kondisi
rumah pada saat itu juga masih sederhana, masih menunjukkan ciri khas rumah
trasisional, belum berlantaikan keramik maupun semen, hanya tanah.
Beralih
saat aku SD, ini diamna pertama kalinya saya berkenalan dengan sekolah dan
belajar, maklum di desaku tidak ada TK kala itu. Permainan-permainan saat aku
belum masuk SDpun masih sering kami lakukan. Masa SD saya habiskan dengan
menggembala domba ke sawah dan bermain air di sungai, dahulu suasana di sungai
begitu menyenangkan, banyak anak-anak yang bermain disana, begitu terasa indah
dan meyenangkan. Selain itu kami juga sering bermain laying-layang, dimana saat
itu permainan tersebut sangatlah digemari. Namun disisi lain mulai banyak
perubahan yang terjadi, rumah yang mulai berlantikan keramik, tidak ada tiang
di dalamnya, dan juga mulai ada handphone. Namun saat itu handphone terbilang
barang yang mewah, hanya orang-orang tertentu saja yang mempunyainya. Aku
teringat dulu sering disuruh kyai saya untuk mencarikan sinyal naik ke bukit,
menunggu HP bunyi ada SMS. Saat memasuki kelas 4 saya bersama teman-teman
belajar di TPA, kami berangkat sore hari setelah sekolah di SD selesai, kami
harus berjalan lumayan jauh untuk sampai ditempat tujuan, karena TPA tersebut
berada di desa sebelah.
Cerita
berlanjut saat aku memasuki bangku SMP, saat itu adalah puncak dimana saya
menikmati masa kecil saya. Kami harus berjalan kurang lebih 4km dengan medan
yang naik turun untuk mencapai sekolah. Saat itu belum ada transportasi umum,
belum banyak yang mempunyai sepeda motor, hanya segelintir orang yang
memilikinya. Kondisi mayarakat saat itu masih memegang teguh adat istiadat
masyarakat desa, gotong royong, kerja bakti, musyawaarah dan lain-lain. Pada
saat itu, aku mulai berani keluar malam hanya sekedar untuk berkumpul di
perempatan atau di pos ronda bersama yang lain. Aku dan mereka sangatlah akrab,
seperti keluarga sendiri. Saat itu juga dimana di desa aku berkembang sebuah
kesenian kuda lumping. Aku sering menonton pertunjukan kesenian tersebut,
sembari membantu ibu berjualan jajanan anak-anak di tempat itu. Saat aku
memasuki kelas 2 SMP aku mulai bermain bersama teman hinga larut malam, bahkan
bisa dibilang setiap malam minggu saya jarang dirumah. Pada saat itu juga HP
mulai populer, kami tak perlu bertemu langsung untuk menyampaikan pesan. Pada
saat itu juga rumah model tradisional mulai ditinggalkan, jika rumah jaman
dahulu didalamnya pasti ada tiang, namun saat itu mulai berkembang model rumah
“potong godang”, dimana tidak ada tiang penyangga di dalam rumah.
Cerita
berlanjut ketika aku memasuki bangku SMA, saat itu tahun 2009. Saat aku SMA
jalanan di desaku sudah beraspal. Mulai banyak kendaraan sepeda motor.
Permainan saat aku kecilpun sudah mulai di tinggalkan oleh anak kecil pada masa
itu, tidak ada lagi anak yang bermain sudah manda, dakon, dan permainan
laying-layang pun sudah bukan permianan favorit. Inilah masa dimana perubahan
besar permainan yang dimainkan anak-anak. Mereka tak mengenal dakon lagi, tak
mengenal “gateng” lagi. Permainan di dominasi oleh permainan modern, misal
mobil-mobilan dari baterai, gadget, PS, dan lain-lain. Saat ini pula kesenaian
tradisional mengalami pasang surut, semakin sedikit generasi muda yang
melestarikan kesenaian tradisional seperti kuda lumping. Saat aku kelas dua
SMA, saat itulah aku mempunyai kendaraan bermotor, dan saat itulah semakin
marak adanya kendaraan bermotor. Anak-anak SMP yang dahulu semasa aku masih SMP
jalan kaki menuju sekolah, kini mereka telah menggunakan sepeda motor, sudah
jarang anak yang mau jalan kaki menuju sekolah. Pada saat itu juga
remaja-remaja di kampungku mulai pada merantau ke luar kota, suasana malam
menjadi sepi, tidak ada remaja yang kumpul-kumpul bersama lagi, kalaupun ada
hanya segelintir orang.
Tahun
2012, dimana aku lulus dari SMA. Kondisi pada saat itu tidak mengalami
perubahan yang jauh dari sebelumnya. Hingga saat ini saat aku menulis tulisan
inipun kondisi kampungku masih sama seperti saat aku masih SMA. Inilah cerita
mengenai kampong halamanku sejak aku dilahirkan hingga saat ini, saat aku
menulis tulisan ini.
Posting Komentar